“Bupolo Neten Baheren”, Pemimpin Baru Buru Selatan SMS-GS

Oleh : Hesky Lesnussa

12 Agustus 1984,entah dari mana datangnya Ilham itu sehingga jemari seniman Pulau Buru  Saul Lesnussa menggoreskan syair-syair indah tentang mahakarya Tuhan dalam menciptakan suatu tempat yang indah di bumi.

Syair-syair indah itu berbunyi :

Bupolo Neten baheren - pulau buru tempat tercinta

Bupolo Gamdi res-resek, sesungguhnya pulau buru seperti itu sejak semula

Neten di yaba mlomong - itulah tanah kelahiranku

Resek dagosa tirin-e - sungguh terlalu indah

Ewasa da kurang mohe - kekuasaannya tiada pernah berkurang

Ewasa da kurang Mohe

Dutuk Dae dutuk Lawe- semuanya tunduk baik dilaut maupun didarat

Kupang elwani bamemo- seluruh penghuninya menerima berkat/kesejahteraan dari sang pencipta

Gamdi intan flawan la yako

Gamdi intan flawan la yako - laksana Intan dan emas bagiku

Kakor walor tongi nak waer gamdi epkitan baptene- gunung, lembah Serta airnya bagaikan seorang Kapitan yang tengah bersiaga

Kakor walor tongi nak waer gamdi

Putria ba flebo -gunung -lembah serta airnya laksana putri kayangan yang sedang mandi.

Deretan syair yang mengisahkan tentang suatu tempat maha indah ciptaan Tuhan yang maha esa itu, tersusun rapi dalam balutan komposisi karya musik bernotasi Balok (Not balok) yang olehnya diberi judul singkat “Bupolo” / Pulau Buru.

Bila menyimak dengan seksama maka dapatlah kita memaknainya sebagai suatu puja-puji /puji -pujian yang dalam bahasa ibu orang Bupolo dikenal dengan istilah “Inga fuka Ebata”.

Bupolo neten baheren bermakna Pulau Buru adalah tempat tercinta/ tersayang, demikianlah pemaknaan dari judul tulisan yang termaktub diatas, dan kecintaan terhadap tanah yang luasnya 12.656 KM² itu adalah suatu kewajiban bukan hanya bagi mereka yang terlahir diatasnya (Neten di yaba mlomong-lihat syair lagu), namun juga bagi mereka yang hidup oleh berkat / kesejahteraan diatas tanah Bupolo ( Kupang elwani bamemo) mulai dari pesisir pantai hingga pegunungan, dari timur matahari terbit hingga pesisir barat tempat matahari terbenam (Lea keha - Lea Sogo).

Bupolo neten baheren sama persis sepertinya dengan konsep dasar sila kebangsaan menurut bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 tentang pertautan jiwa antara orang dengan bumi yang ia pijak. “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan. “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “l’ame et desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu.  Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air.Tanah air itu adalah satu kesatuan.

Demikian Bung Karno menyampaikan pandangannya dihadapan Dokuritsu Zunbi Tjosakai /BPUPKI.

Perasaan cinta terhadap tanah air, tempat kelahiran , tempat yang didiami merupakan bentuk pertautan jiwa antara orang dengan bumi yang dipijaknya, teristimewa orang-orang yang disyairkan dalam judul lagu sekaligus judul tulisan diatas.

Memang saat ini, oleh tuntutan otonomi daerah pasca reformasi 1998 maka Pulau Buru secara administratif pemerintahan telah menjadi dua kabupaten, namun berpisah secara administratif pemerintahan bukan pula berarti harus berpisah secara kultural, sehingga tali persaudaraan Ina Ama, kai wait, wali dawen harus terputus.”

Seperti pernah diucapkan langsung mantan Wakil Bupati Bursel dua periode Ayub seleky saat rapat perdana masalah sengketa tapal batas kabupaten Buru- Buru Selatan dilantai Enam  kantor gubernur Maluku tahun 2013 silam.

Inilah sebenarnya bahaya laten dalam perspektif kebudayaan yang mestinya dipikirkan bersama guna menemukan satu formulasi kebijakan yang riil dalam aspek pembangunan kebudayaan, tidak abstrak dan ketika diimplementasikan bisa diterima oleh mayoritas penghuni dari “tanah air Bupolo.”.

KEBUDAYAAN BUPOLO DAN TANTANGANNYA

Kebudayaan Pulau Buru ( Bupolo) merupakan hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) orang Bupolo seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat orang Buru dalam sejarah peradabannya.

Menurut Kluckhohn, kebudayaan memiliki tujuh unsur yang diistilahkannya sebagai cultural universals (Soekamto, 2012) antara lain :

Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, tempat tinggal, alat-alat rumah tangga, senjata, alat produksi, transportasi, alat berburu, dan sebagainya). Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dsb).

Selain itu, sistem kemasyarakatan (Sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan, dsb.  Bahasa lisan dan tulisan,  kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak) dsb,  sistem pengetahuan dan Religi atau sistem kepercayaan

Diantara unsur diatas sesungguhnya unsur bahasa dan kesenianlah yang paling krusial membentuk ketahanan satu kebudayaan ditengah pergerakan zaman yang kian modern dan canggih ini karena dari situlah kebudayaan berkembang dan membentuk hasil kebudayaan seperti Bahasan daerah,Rumah adat,Pakaian adat,Tarian dan pertunjukan Senjata tradisional,Lagu daerah, Upacara adat.

Dalam perspektif sosolinguistik, bahasa daerah sebagai khasanah kebudayaan merupakan kekayaan dan peninggalan cipta rasa dan karsa manusia tempo dulu yang sangat berarti dan harus dijaga serta dilestarikan. bila dikorelasikan dengan sifat kebudayaan, tentunya bahasa daerah termasuk ke dalam kebudayaan yang bersifat dinamis yang berarti akan mengalami dekonstruksi dan atau rekonstruksi bahasa(Aan Setiawan, UNDIP,2011).

Sedangkan kesenian tradisional merupakan kecakapan batin (akal) yang luar biasa yang dapat menciptakan sesuatu yang luar biasa, dimana cara - cara berpikir serta  mewujudkannya berpegang teguh pada norma dan adab kebiasaan-kebiasaan yang ada secara turun-temurun (Pancawati,1990).

Menurut Kepala Kantor Bahasa Maluku Asrif, Fungsi dan kegunaan bahasa daerah tidak hanya sebatas alat komunikasi, memudarnya bahasa daerah juga mengoyak budaya lokal karena bahasa merupakan rahim sebuah budaya.

Di banyak daerah, tatanan budaya juga mulai goyah seiring berkurangnya penuturan bahasa daerah. Nilai dari upacara adat bergeser dari ritual ke seremoni. Bahasa daerah tak lagi diucapkan, tetapi dihafal atau dibaca tanpa tahu maksudnya.( Kompas, 11, November 2019-BAHASA DAERAH DI MALUKU TERANCAM PUNAH BUDAYA LOKAL).

Sayangnya, hingga saat ini pemerintah daerah Maluku dan perguruan tinggi dianggap tidak terlalu peduli pada pelestarian bahasa daerah. Ancaman kepunahan itu pun turut mengintai bahasa buru, seperti penuturannya langsung dihadapan peserta kegiatan penyuluhan bahasa Indonesia bagi ASN, TNI dan Polri aula Lantai dua kantor bupati buru selatan, 24 Mei 2019. (https://www.suaraburuselatan.com/2019/05/asrif-sebut-bahasa-buru-terancam-sirna.html?m=1).

Kendati demikian, namun untuk wilayah Bupolo (pulau Buru) setidaknya ada harapan baru untuk menjaga dan melestarikan bahasa dan kesenian sebagai unsur kebudayaan (lagu-nyanyian). Harapan itu muncul dari dua Klasis Gereja Protestan Maluku yang melayani disana.

Betapa tidak sejak tahun 2003 upaya ini sudah mulai dilaksanakan secara bertahap hingga mencapai puncaknya tahun 2018 silam dimana seluruh Nama gereja dijemaat - jemaat GPM diganti dengan nama yang bermakna sama dalam bahasa Buru.

Misalnya gereja Mata air penyeru desa Labuang kecamatan Namrole diubah namanya menjadi Gereja Wae Fuhan Prangit dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, secara khusus ada liturgi ibadah Minggu ketiga yang menggunakan bahasa Buru, serta lagu-lagu rohani yang dinyanyikan pula dalam bahasa buru, juga penamaan nama-nama sektor, unit hingga ranting AMGPM turut diganti namanya dalam bahasa buru.(Keputusan sidang Sinode GPM XXXVII/2016 di Ambon).

Dari kondisi aktual ini dapat kita lihat bahwa sesungguhnya masih ada harapan bagi kita untuk mengantisipasi segera persoalan krusial semacam ini lewat sebuah kebijakan penyelamatan  dan perlindungan kebudayaan asli Bupolo. Masa lalu memang tak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa diupayakan. Menyelamatkan dan melindungi dengan satu formulasi kebijakan.

Budaya lokal dibutuhkan dalam meningkatkan daya saing pembangunan daerah. Oleh karenanya setiap regulasi harus berbasis budaya lokal sehingga mencerminkan kandungan budaya dan nilai-nilai ke-Indonesian. Budaya lokal adalah sebagai perangkat pandangan, kebiasaan-kebiasaan struktur-struktur sosial dan kebudayaan tertentu yang membentuk berbagai corak kesejahteraan dan menjadi ada dengan keberadaan aneka ragam fenomena-fenomena pada masyarakat di daerah.

Semakin banyak regulasi yang menganut, memiliki dan menaati suatu nilai, semakin tinggi tingkat daya guna regulasi tersebut. Olehnya itu pemerintah daerah harus bisa menyeimbangkan ancama budaya global dan budaya daerah masyarakat setempat.

Untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan kewenangan otonomi untuk memelihara dan mengembangkan identitas budaya lokal. Tanpa otonomi yang luas daerah-daerah akan kehilagan identitas budaya lokal, baik berupa adat istiadat maupun agama. lewat sebuah kebijakan maka kebudayaan lokal fapat dikelola dengan baik dalam implementasi otonomi daerah.

Karena tidak menutup kemungkinan apabila tidak dapat dikelola maka etnosentrisme berubah menjadi alat legitimasi baru dalam pemerintahan yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat di daerah (Lionardo, Andries (2009) Kebijakan Berbasis Budaya, Harian Berita Pagi,Palembang).

Sesungguhnya, secara hakiki kebijakan dapat dimaknai sebagai sebuah aturan, dalam studi kebijakan publik, untuk membuat suatu aturan (kebijakan) maka ada tahapan -tahapan pembuatannya. William Dunn merumuskan proses / tahapan tersebut meliputi penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

Formulasi atau perumusan kebijakan merupakan langkah awal dalam proses kebijakan secara keseluruhan,bila proses perumusan tidak dilakukan secara tepat dan komprehensif, hasil kebijakan yang dirumuskan tidak akan mencapai tataran yang optimal.

Diantara banyak definisi tentang Formulasi kebijakan, saya menggandrungi definisi milik ahli kebijakan publik Amerika Serikat profesor Thomas R.Dye dari Florida State University yang mengartikan formulasi kebijakan sebagai usaha pemerintah melakukan intervensi terhadap kehidupan publik sebagai solusi terhadap setiap permasalahan di masyarakat. Intervensi yang dilakukan dapat  memaksa publik, karena pemerintah diberi kewenangan otoritatif (1995).

Berlayar dengan definisi itu maka masalah utama yang saat ini tengah membelenggu Pulau Buru khususnya Buru Selatan ialah terkikisnya kebudayaan lokal asli Pulau Buru. Dalam konteks formulasi kebijakan, studi mengenainya telah memberikan perhatian yang sangat dalam pada sifat – sifat (perumusan) permasalahan publik karena (perumusan) permasalahan publik merupakan fundamen besar dalam merumuskan kebijakan publik secara terarah,benar, tepat dan sesuai.

Perumusan masalah menurut William Dunn (1999:26), akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi – asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis bagian – bagian dari masalah publik, memetakan tujuan – tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan – pandangan yang berseberangan atau bertentangan, dan merancang peluang – peluang  kebijakan yang baru.

Formulasi kebijakan akan berkaitan dengan atau beberapa hal yaitu cara bagaimana suatu masalah, terutama masalah publik memperoleh perhatian dari atau para pembuat kebijakan, cara bagaimana merumuskan usulan - usulan untuk menganggapi masalah tertentu yang timbul, cara bagaimana memilih salah satu alternatif untuk mengatasi masalah publik.

Dalam konteks diatas maka untuk mengatasi masalah terkikisnya kebudayaan Bupolo yang telah teridentifkasi maka perumusannya perlu melihat aspek kultural itu sendiri dari sumber aslinya.

Misalnya, penelitian-penelitian terdahulu dipulau buru dari pihak-pihak yang berkompeten untuk masalah Bahasa perlulah kita ambil, sebab disanalah sesungguhnya asumsi, hipotesa , analisa hingga fakta empirik tentang problematika akan ancaman Hilangnya bahasa buru dapat kita temukan seutuhnya.

Contohnya, hasil Penelitian dalam kurun waktu 2016-2019 dari kantor Pengembangan Bahasa Maluku / Badan pengembangan bahasa dan pembukuan kementerian pendidikan dan kebudayaan yang menemukan fakta bahwa penyebab punahnya bahasa buru akibat mulai enggannya orang buru menggunakannya.

Mulai hilangnya bahasa asli suatu daerah menandakan pula bahwa identitas adat dari daerah tersebut mulai terkikis, sehingga bila bahasa buru mulai hilang (jumlah penuturnya berkurang) maka itupun mulai menandakan bahwa identitas adat orang buru hanya tinggal menunggu waktu untuk menghilang.

Lembaga ini kemudian merekomendasikan beberapa solusi antara lain menumbuhkan kesadaran dan kecintaan masyarakat untuk bangga kepada budaya sendiri karena itu adalah kekayaan  serta identitas daerah. Menurut mereka untuk mewujudkan semua ini dibutuhkan intervensi dari pemerintah daerah dalam bentuk nyata seperti apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Maluku tenggara yang melestarikan bahasa veveu evav / bahasa kei dengan menerapkan program berbahasa kei itu setiap hari jumad dalam lingkup SKPD Pemda Malra.

Untuk kesenian daerah maka terobosan-terobosan penting pun harus dibuat dengan menempatkan pemerintah daerah dsebagai panglimanya, sehingga perangkat kebijakannya tersedia. Misalnya, di sekolah-sekolah dibuat program muatan lokal, para siswa diajarkan dengan bahasa daerah dan kesenian daerah, memang kita pun mesti realistis sehingga penerapannya mungkin dilakukan pada negeri-negeri adat yang jumlah penutur bahasa buru sudah hilang, berkurang, bahkan mulai berkurang jumlahnya.

Saya ingat tahun 1992-1998 saya bersekolah pada TK naskat pelita Namlea(1992) lagu-lagu daerah asli pulau buru seperti Bual Fofon,bupolo (neten baheren) diajarkan oleh guru TK kami Ny Efruan yang asli orang tenggara, begitu kami masuk SD naskat pelita Namlea, pengajaran kesenian buru semakin hebat-hebatnya melalui kretivas guru kesenian kami Abraham Serhalawan, orang Ambon, lagu berbahasa buru seperti ma Iko phaga dari penyanyi melky Goeslaw turut diajarkan, dilombakan, dan dipertunjukan dalam pentas seni di sekolah itu.

Bung Karno benar dalam pemikirannya sehingga konsep Trisaktinya turut membawa “Berkepribadian dalam kebudayaan” sebagai satu isi konsepsinya yang terkenal itu selain, berdaulat dibidang politik” dan “Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari).”

Tapi kini, bila memotret kondisi kebudayaan daerah sebagai sumber kebudayaan nasional semakin tergerus habis dimakan pergerakan zaman dan ketidakpedulian anak-anak pada jamannya.

Pramoedya ananta Toer mungkin saja “benar” dalam bukunya tentang catatan-catatan dari pulau buru berjudul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” cetakan Hasta mitra 1988-1989 bahwa “kini Trisakti ajaran Bung Karno itu hanya tinggal menjadi sebuah nama universitas dan sebuah nama jalan....”.

Kami berharap , dengan dilantiknya pemimpin buru selatan yang baru Safitri Malik Soulissa dan Gerson Eliazer Selsili ini maka upaya pelestarian kebudayaan tanah Bupolo bisa dilindungi, dilestarikan dan dijaga seperti syair Gamdi epkitan baptane pada lagu bupolo neten baheren itu.

Selamat memimpin, Semesta menjaga dan melindungi.  (Mewakili Panitia,-Seksi Humas dan publikasi) (***)

Komentar

Loading...