62 Bahasa Daerah di Maluku Terancam Punah

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON, - Sebanyak 62 bahasa daerah di Maluku terancam punah seiring hilangnya para penutur bahasa-bahasa itu beberapa waktu ke depan. Ironisnya pemerintah daerah (Pemda) setempat disebut-sebut ikut andil atas punahnya puluhan bahasa masyarakat lokal tersebut.

Menurut pihak Kantor Bahasa Provinsi Maluku, dalam waktu 20 tahun kedepan puluhan bahasa daerah di Maluku bakal hilang. Sementara peran Pemda dinilai minim, terutama dalam hal regulasi terkait perlindungan bahasa daerah di Maluku.

Perlindungan bahasa daerah melalui regulasi Pemda umumnya dilakukan di wilayah Indonesia bagian barat. Sementara di bagian timur belum dilakukan sama sekali, kondisi ini patut disesalkan.

“Bayangkan kalau 20 tahun ke depan para penutur bahasa daerahnya sudah meninggal, maka satu saat bahasa daerah di Maluku akan punah. Kami hanya mengingatkan saja,” kata Kepala UPT Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Syharil di sela-sela pelatihan jurnalis media daring, di Pasific Hotel Senin (14/6).

Sesuai inventarisasi bahasa yang dituturkan masyarakat lokal di Maluku pihaknya, ungkap Syahril berhasil mengindentifikasi 62 bahasa daerah. Ironisnya, dari keseluruhan bahasa daerah tersebut cuma  sembilan persen yang digunakan oleh para penuturnya.

Dia menambahkan bahasa daerah yang kebanyakan mulai punah terjadi di negeri-negeri berpenduduk mayoritas umat Kristiani. Disebabkan kebijakan pihak gereja di masa lalu menyuruh masyarakat hanya menggunakan bahasa Melayu Ambon dalam berkomunikasi.

Sedang di kalangan negeri-negeri berpenduduk Muslim hal itu tidak terjadi, alhasil bahasa daerah setempat masih dituturkan hingga saat ini. Meski demikian bahasa daerah di komunitas muslim juga terancam punah akibat “konflik bahasa” itu sendiri di kalangan mereka.

Ada pro kontra, lanjut Syahril, misalnya bahasa masyarakat jasirah leihitu yang tersebar hingga pulau Saparua itu, ketika yang terdaftar atas nama Negeri Assilulu, masyarakat Negeri Hitu protes. Alhasil upaya Kantor Bahasa menjadikan bahasa Leihitu sebagai bahan ajar muatan lokal di sekolah-sekolah negeri menjadi kandas hingga hari ini.

Hal yang sama terjadi di Kabupaten Maluku Barat Daya, tepatnya di Pulau Kisar terjadi konflik bahasa dimaksud antara masyarakat Leti dan Lesser. Untuk mengatasi konflik kepentingan berbau ego daerah semacam itu peran Pemda Kabupaten/Kota dibutuhkan.

“Intinya setiap Pemda di Maluku perlu punya regulasi untuk melindungi dan melestarikan bahasa daerahnya masing-masing. Apapun caranya,” ingat dia. (KTA)

Komentar

Loading...