Maluku Baru, Mampukah Nepotisme & Balas Budi “Dihilangkan”

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Setelah dilantik sebagai Gubernur Maluku oleh Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, 24 April 2019, lalu, Murad Ismail dan Barnabas Orno, resmi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku yang sah, secara konstitusi.

Murad-Orno, bukan lagi milik, Parpol, Tim sukses atau keluarga, tapi keduanya menjadi milik masyarakat Maluku sebagai pemimpin orang Maluku. Perbedaan pilihan mapun lainnya, dalam proses-proses politik, harus ditanggalkan, agar tidak melahirkan persepsi-persepsi negatif keduanya dalam memimpin Maluku.

Rumah atau “BAILEO” yang sejak proses-proses politik Pilkada itu, dan juga sebagai jargon politik, bukan lagi sebagai hunian orang-orang tertentu atau mereka yang kerap disebut “berkeringat” dalam “pesta” politik, namun pintu “BAILEO” harus dibuka bagi semua warga Maluku, dalam persepsi bersama, sebagai orang Maluku.

Maluku baru, Maluku bisa harus dimaknai sebagai perubahan. Artinya yang baru adalah sesuatu yang tidak sama dengan lama. Sudah pasti semua serba baru, serbah berubah dan serbah berubah, deng sebelumnya. Cara-cara berpolitik, Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), dalam membangun Maluku juga harus dihindari.

Bila pemerintahan sebelumnya, ada KKN dalam proses-proses pembangunan atau tender (proyek), misalnya dan ada gubernur-gebernur kecil yang kerap menjadi “hantu” perubahan juga harus menjadi catatan penting bagi Gubernur Baru, Murad Ismail. Dengan begitu, mimpi membangun dan mensejahterakan warga dapat terwujud.

Murad Ismail, sebagai Gubernur baru orang Maluku, dapat mewujudkan mimpi dan cita-citanya bila mana cara menangani semua potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM), dilakukan secara profesional.

Setidaknya, semua harus dikembalikan pada ahlinya, termasuk pembangunan infrastruktur, yang tidak hanya dikuasai segelintir orang yang punya korelasi nepotisme, juga politik balas budi saat Pilkada Maluku berlangsung.

Publik Maluku tahu, bila proses-proses politik berjalan tidak ada pihak-pihak tertentu atau yang kerap disebut “cukong” punya andil menginvestasi modalnya mendukung proses-proses politik itu. Entah, benar atau tidak, tapi opini publik tentang kerja-kerja politik Murad Ismail hingga terpilih menjadi Gubernur seperti itu.

Jika benar semua opini dimaksud, bukan mustahil Murad Ismail akan menjadi pemimpin Maluku pertama yang bisa diprediksi memampu mengubah pelbagai masalah-masalah krusial proyek pembangunan di Maluku selama ini.

Sebagaimana diketahui, menopoli, paket-paket proyek pembangunan dari episode ke episode di Maluku bukan rahasia. Sistem menopoli sengaja “dipiara” bukan tanpa sebab, tapi kerena mereka yang disebut “cukong” ikut menginvestasi dananya disaat proses-proses politik itu berjalan.

Harapan masyarakat Maluku Murad Ismail merupakan figur tepat untuk mengakhiri segela bentuk menopoli, karena dalam proses-proses politik yang dilakoni hingga menjadi Gubernur Maluku, tanpa investasi dana “cukong.” Semua finansial yang dikucurkan berasal dari kantong pribadinya.

Kedepan, Murad Ismail akan lebih leluasa dalam memainkan kebijakan terkait pembangunan Maluku, tanpa beban balas budi. Murad tidak diikat budi, tapi Murad diikat tanggung jawab besar untuk menuntaskan problem kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan lain-lainnya.

Tanggung jawab itu, menjadi harapan masyarakat Maluku untuk Murad Ismail. Nepotisme, balas budi politik, selama ini menjadi “hantu” majunya Maluku. Mampukah Murad Ismail melakoni lima tahun memimpin Maluku, tanpa nepotisme dan balas budi?

Bila semua mampu diimplementasikan, semua mimpi dan cita-cita besar dalam visi-misi “BAILEO” akan mengubah Maluku bisa sejajar dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia akan berhasil. Jika tidak mampu menanggalkan “nepotisme” dan balas budi politik, kesejahteraan, kemakmuran dan perubahan Maluku Baru dan Maluku bisa, hanya jadi slogan kosong. (Ongkie Anakoda)

Komentar

Loading...