Korupsi Lahan PLTMG, Fery Tanaya-PLN Kongkalikong
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Penjualan lahan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mesin dan Gas (PLTMG) di Kabupaten Buru yang diklaim milik Fery Tanaya diduga di mark up. Disinyalir konspirasi jahat Fery melibatkan PT PLN.
Di lain sisi terkuak rekam jejak pengusaha logging ini kerap menjadikan sasaran empuk lahan-lahan yang telah lama ditinggal mati pemiliknya.
Praktisi hukum Marnex Salmon menilai dugaan perbuatan melawan hukum oleh Fery Tanaya sesuai laporan masyarakat ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku layak diusut tuntas. Dia mensinyalir ada pihak-pihak lain yang berkonspirasi dengan Fery Tanaya untuk mendapatkan keuntungan. Jika lahan tersebut di jual ke negara dalam hal ini PT PLN (Persero) sudah tentu terkait uang negara. Dan bila dalam penjualan lahan dimaksud, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari lahan yang dijual membengkak, maka diduga kuat ada mark up harga lahan.
“Kalau terjadi seperti itu maka itu korupsi, Kejaksaan harus tuntaskan,” ujar pengacara dari kantor Advokat Ma’ad Patty dan Rekans ini kepada Kabar Timur, di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (4/4).
Terkait status kepemilikan lahan tersebut, lanjut Marnex, bukti surat tanah sangat penting. Jika lahan dimaksud merupakan tanah erfak atau pemberian dari pemiliknya yang sah, seperti diklaim oleh Fery Tanaya, lahan tersebut dapat dipergunakan dengan kewenangan yang seluas-luasnya.
“Iya termasuk dengan menjualnya. Terserah dia sebagai orang yang diberikan lahan tersebut oleh pemilik asal,” katanya.
Tapi kalau kemudian ada gugatan dari pihak lain, demikian sebaliknya kalau Fery Tanaya yang menggugat dan gugatan dimenangkan di pengadilan, semestinya putusan hukum ini dipatuhi. Putusan pengadilan menjadi dasar kepemilikan atas lahan yang disengketakan.
Namun ternyata, tanah yang dijual Ferry Tanaya kepada PLN pada tahun 2016 ini bukan miliknya, tapi milik Petuanan Liliali dan Moch Mukadar. Dibuktikan dengan adanya gugatan yang dilayangkan Fery Tanaya. Tapi Fery dinyatakan kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Ambon, Pengadilan Negeri Ambon, Kasasi Mahkamah Agung TUN bahkan setelah mengajukan upaya terakhir Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI, ternyata ditolak tanggal 30 Mei 2017.
Fery Tanaya dinyatakan kalah berdasarkan Keputusan PT. TUN Makassar No: 94/B/2014, Keputusan Kasasi MA. No 70 K/TUN/2015, Keputusan MA. No 937 K/PDT/2015, Keputusan PK MA. No 184/PK/PDT/2017, dan Keputusan MA. No: 761/K/PDT/2017.
“Yah kalau orang lain punya bukti, sementara Fery tidak, kenapa dia jual ke PLN? berarti patut diduga ada konspirasi dengan PLN sendiri, kongkalikong,” kata Marnex.
Marnex mengaku, sedikit tahu sepak terjang Fery Tanaya dari rekam jejak kasus sengketa lahan yang pernah dia ikuti di pengadilan. Menurutnya Fery Tanaya kerap membidik lahan-lahan masyarakat yang telah lama ditinggal mati oleh pemilik asalnya.
Setelah mengantongi beberapa surat tanah sebagai bukti, dia lalu mendekati ahli waris atau keluarga pemilik asal tersebut. Itu lah sebabnya, di persidangan, lawan Fery Tanaya sering kewalahan, dengan adanya bukti-bukti yang dikantongi. Tentu saja, saksi-saksi pemilik asal tidak bisa dihadirkan lagi oleh Fery. Tapi saksi-saksi dari keluarga yang masih hidup, akan menjadi senjata pamungkas untuk mengalahkan pihak lain di persidangan.
“Saksi-saksi keluarga ini untuk menguatkan fakta-fakta kepemilikan dia terhadap lahan yang disengketakan di pengadilan. Modus Fery yang katong analisa rata-rata seperti itu,” ungkap Marnex.
Dihubungi terpisah, Kasipenkum Kejati Maluku Samy Sapulette mengaku, kasus ini masih dalam penyelidikan Kejati Maluku. “Kalau di Pidsus ya berarti ini masuk ranah tipikor,” jelas Samy.
Hanya saja, jenis tindak pidana korupsi (tipikor) apa saja yang dilaporkan oleh masyarakat ke Kejati Maluku, Samy enggan buka-bukaan. Dia berdalih, informasinya tidak bisa dipublikasikan, karena kasus ini masih dalam penyelidikan jaksa.
Diberitakan sebelumnya, aroma korupsi merebak dalam kasus pembelian lahan oleh PT PLN untuk pembangunan PLTMG Namlea. Ini setelah terungkap kalau Badan Pertanahan Negara (BPN), Notaris dan Pemda Kabupaten Buru tidak dilibatkan dalam proses jual beli lahan tersebut.
Hal itu, terkuak dengan adanya surat penyerahan atau pelepasan hak atas tanah kepada negara seluas 48.654.50 meter persegi atau 48 hektare.
Selain itu, lahan yang dibeli PLN diduga mengalami pembengkakan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2016. Harga sesuai NJOP Rp 36.000. Namun melonjak menjadi Rp 131.600 per meter per segi.
Dalam surat pelepasan hak lahan, Fery Tanaya tidak mencantumkan atau menjelaskan mengenai status tanah yang diakui sebagai miliknya. Diduga ini disengaja oleh Fery karena lahan dimaksud berdasarkan Erfak tahun 1938.
Tanah itu diukur BPN Buru. Namun dalam penandatangan surat pelepasan hak, BPN tidak dilibatkan. Anehnya, saksi dalam pelepasan hak itu tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan pembelian lahan tersebut. Diantaranya atas nama Kapolsek Namlea, Danramil Namlea, dan Staf Desa serta Camat. Nama staf desa dan Camat baru dimasukan sebagai saksi. Buktinya, kedua nama saksi itu baru ditulis tangan tanpa menggunakan cap.
Penandatanganan surat pelepasan hak tanah berlangsung di Kantor Camat Namlea, 28 Juli 2016 . Lebih parahnya lagi, selain BPN, dalam surat pernyataan pelepasan hak atas tanah kepada negara itu juga tidak melibatkan pihak Notaris dan Pemkab Buru. (KTA)
Komentar