Warga Adat Ancam Blokir Lahan PLTMG

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Sejak dilaporkan pada 28 Oktober 2018, jaksa belum memeriksa Ferry Tanaya dan Kepala PLN UIP Maluku. Warga adat petuanan Lilialy mengancam akan kembali memblokir lahan proyek PLTMG di Kabupaten Buru.
Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku didesak segera menuntaskan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan oleh PT PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Maluku dan Ferry Tanaya yang mengklaim sebagai pemilik lahan. “Dulu kita sudah bicarakan di Polres (Buru). Koordinasi sudah dilakukan beberapa kali, tapi tidak ada hasil. Setelah dari belakang, sudah berjalan dan ditangani oleh Kejati,” kata Raja Petuanan Lilialy Husen Bessy dihubungi Kabar Timur, Rabu (3/4).
Namun setelah ditangani Kejati Maluku progress penanganan kasus ini belum diketahui. “Sudah diusut Kejati, tapi sampai sekarang belum ada hasilnya,” heran Husen.
Husen meminta tim jaksa segera memanggil dan memeriksa Ferry Tanaya yang mengklaim sebagai pemilik lahan. Padahal tanah itu secara sah berdasarkan putusan pengadilan adalah milik petuanan Lilialy.
Husen juga mendesak jaksa memeriksa kepala PLN UIP Maluku saat transaksi lahan PLTMG. Sebab diduga, ada kongkalikong antara keduanya sehingga berani melakukan jual beli lahan tanpa melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku.
“Jika penanganan kasus tersebut tidak segera dituntaskan, kami masyarakat adat akan bersikap tegas. Kami akan kembali blokir lahan pembangunan PLTMG,” ancam Husen.
Sebelumnya diberitakan, enam bulan dilaporkan, penanganan kasus masih berkutat diproses penyelidikan. Kejati Maluku juga irit bicara terkait penyelidikan kasus yang menyeret nama pengusaha kondang Ferry Tanaya.
Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati Maluku, Samy Sapulete mengaku, penanganan kasus ini masih tahap penyelidikan. “Masih dalam proses penyelidikan,” kata Samy menjawab Kabar Timur melalui Whatsapp, Senin (1/4).
Samy tidak menjelaskan, alasan penanganan kasus ini belum dinaikkan ke penyidikan.
Setelah bau korupsi pengadaan lahan yang dibeli PLN UIP Maluku dari Ferry Tanaya, jaksa bergerak mengumpulkan bahan keterangan. Lima orang dari pihak terkait termasuk PLN sudah dimintai keterangannya. Namun kepala PLN UIP Maluku dan Ferry Tanaya yang mengklaim sebagai pemilik lahan, hingga kini belum diperiksa korps Adhyaksa.
Bau korupsi mulai tercium setelah Badan Pertanahan Negara, Notaris dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buru tidak dilibatkan dalam proses jual beli lahan tersebut. Ini terkuak dalam surat penyerahan atau pelepasan hak atas tanah kepada negara seluas 48.654.50 meter persegi atau 48 hektare.
Selain itu, lahan yang dibeli PLN diduga mengalami pembengkakan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2016. Harga sesuai NJOP Rp 36.000. Namun melonjak menjadi Rp 131.600 per meter per segi.
Dalam surat pelepasan hak lahan, Fery Tanaya tidak mencantumkan atau menjelaskan mengenai status tanah yang diakui sebagai miliknya. Tidak adanya penjelasan itu diduga disengaja. Sebab, tanah yang diakui Fery Tanaya ini hanya berdasarkan Erfak tahun 1938. Sementara tanah berstatus Erfak tidak bisa dijual belikan.
Tanah itu diukur BPN Buru. Namun dalam penandatangan surat pelepasan hak, BPN tidak dilibatkan. Anehnya, saksi dalam pelepasan hak itu tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan pembelian lahan tersebut. Diantaranya atas nama Kapolsek Namlea, Danramil Namlea, dan Staf Desa serta Camat. Nama staf desa dan Camat baru dimasukan sebagai saksi. Buktinya, kedua nama saksi itu baru ditulis tangan tanpa menggunakan cap.
Penandatanganan surat pelepasan hak tanah berlangsung di Kantor Camat Namlea, 28 Juli 2016. Lebih parahnya lagi, selain BPN, dalam surat pernyataan pelepasan hak atas tanah kepada negara itu juga tidak melibatkan pihak Notaris dan Pemkab Buru.
Tanah yang dijual Ferry Tanaya kepada PLN tahun 2016 sebenarnya bukan miliknya, tapi Petuanan Liliali dan Moch Mukadar. Ini dibuktikan dengan adanya gugatan yang dilayangkan Fery Tanaya. Fery dinyatakan kalah di di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Ambon, Pengadilan Negeri Ambon, Kasasi Mahkamah Agung TUN dan terakhir di PK Perdata MA yang ditolak tanggal 30 Mei 2017.
Fery Tanaya dinyatakan kalah berdasarkan Keputusan PT. TUN Makassar No: 94/B/2014, Keputusan Kasasi MA. No 70 K/TUN/2015, Keputusan MA. No 937 K/PDT/2015, Keputusan PK MA. No 184/PK/PDT/2017, dan Keputusan MA. No: 761/K/PDT/2017. (CR1)
Komentar