Supervisor Kantor Pajak Divonis 7 Tahun

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Supervisor Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Ambon, Sulimin Ratmin divonis tujuh tahun. Divonis penjara, Suliman tak kuasa menahan air matanya.

Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 250 juta subsider 6 bulan. Sulimin juga dikenai pidana tambahan uang pengganti Rp 60 juta. Jika tidak mampu, harta bendanya disita untuk negara.

“Menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melanggar pasal 12 huruf A UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana,” kata Ketua Majelis Hakim Pasti Tarigan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (2/4).

Aden Lukman, penasehat hukum Sulimin menyesalkan vonis pidana atas kliennya. Apalagi hukum yang dijatuhkan lebih tinggi dari tuntutan JPU KPK, yakni lima tahun penjara.

“Kami sangat sesalkan ini, majelis hakim ternyata sama sekali tidak mempertimbangkan sikap jujur dan kooperatif dari terdakwa. Seharusnya ini meringankan terdakwa, dari tuntutan JPU yang lima tahun itu,” kata Aden Lukman usai persidangan.

Namun JPU KPK, M Takdir Suhan dan Trimulyono Hendradi puas dengan vonis tersebut, meski menyatakan pikir-pikir menerima. Terkait vonis dua tahun lebih tinggi dari tuntutan, Takdir Suhan menilai majelis hakim memiliki keyakinan sendiri dalam memutus perkara.

“Itu kewenangan hakim, mereka punya keyakinan seperti apa hukuman pidana yang harus diberikan terhadap seorang terdakwa,” tandas Takdir.

Seperti disampaikan dalam amar putusannya, Pasti Tarigan yang didampingi hakim anggota Jeny Tulak, Bernard Pandjaitan, Felix Rony Wuissan, dan Jefta Sinaga menilai tidak ada alasan pembenar maupun meringankan bagi terdakwa Sulimin Ratmin.

Menurut majelis, selain memenuhi unsur turut serta melakukan tindak pidana korupsi dengan terdakwa Masikamba, sesuai pasal 55 ayat (1) KUHPidana Sulimin juga meminta uang pada wajib pajak bos CV Angin Timur Antony Liando, beberapa kali, sebagai balas jasa pengurusan pajak hingga nilainya turun dari kewajiban Antony, seperti diklaim oleh La Masikamba dengan Sulimin. Total duit yang diterima Sulimin dari Antony setelah urusan pajak tersebut, sebesar Rp 160 juta.

Sementara itu, penasehat hukum La Masikamba mengaku, pengajuan saksi meringankan untuk klien mereka masih diupayakan. “Intinya kita paling menghadirkan saksi meringankan. Dari mereka-mereka yang pernah mengembalikan uang pinjaman itu. Untuk memperkuat alasan kami, bahwa memang itu uang pinjaman bukan suap,” kata M Iskandar, penasehat hukum Masikamba.

BIDIK PEMBERI SUAP

Akan halnya La Masikamba, eks Kepala KPP Pratama Ambon itu masih harus diperiksa selaku terdakwa sebelum tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Yang mengaku jujur saja divonis 7 tahun oleh hakim, apalagi yang ngotot gak mau mengaku seperti La Masikamba itu,” ujar JPU KPK, M. Takdir Suhan kepada Kabar Timur, usai vonis majelis hakim atas Sulimin.

La Masikamba, selama persidangan memang dikenal alot berargumentasi di hadapan majelis hakim yang mengklaim duit yang diterima adalah pinjaman dan tidak menerima uang cuma-cuma dari Bos CV Angin Timur Antony Liando yang telah divonis lebih dulu.

Namun persoalan tidak sampai di situ saja, keterangan yang berbelit-belit dari Masikamba, ditambah tidak diakuinya pemberian uang sebagai suap atau gratifikasi oleh sejumlah saksi selama persidangan Masikamba dan Sulimin, menimbulkan kecurigaan KPK.

Komisi antirasuah ini tengah mengendus pelaku lain di pusaran suap dan gratifikasi yang didalangi Masikamba. Fakta hukum persidangan dua punggawa kantor pajak tersebut menjadi amunisi bagi KPK guna menggali lebih dalam peran sejumlah orang.

Dan bukan saja para wajib pajak di KPP Pratama Ambon yang disebut-sebut berjumlah 13 orang itu yang disasar KPK. Di persidangan Selasa lalu, satu saksi yang tidak terdaftar selaku wajib pajak di KPP Pratama Ambon dihadirkan dalam sidang pemeriksaan saksi dengan terdakwa Masikamba.

Malah keterangan saksi yang satu ini makin memperkuat dugaan adanya pengemplang pajak lainnya yang tidak memenuhi kewajiban pajak sesuai aturan. Tapi diduga menjadi lahan garapan kasus kejahatan dalam jabatan oleh Masikamba.

Terungkap, Winarto alias Aceng pernah menyuruh dua kolega bisnisnya, yang juga turut dihadirkan di persidangan, HM Sunarto dan Darwin Hendrik untuk mentransfer uang masing-masing Rp 200 juta dan Rp 100 juta ke rekening Muhammad Said atas permintaan Masikamba.

Aceng sempat disebut hakim ketua Pasti Tarigan sebagai pengusaha level nasional. Namun membuka bisnis dengan menggunakan gudang milik kerabatnya bernama Antonius Wijaya di Ambon sebagai tempat mengumpulkan cengkeh dan pala yang dibeli karyawannya dari masyarakat sebelum diangkut ke Surabaya.

Bahkan atas pengakuannya, bahwa pajak tidak dibayar ke KPP Pratama Ambon tapi di Surabaya, majelis hakim menilai saksi Aceng telah merugikan Maluku terkait bagi hasil oleh Pemerintah Pusat. Padahal yang bersangkutan puluhan tahun membuka usaha di Ambon.

Namun seperti para saksi wajib pajak lainnya yang pernah dihadirkan JPU KPK, Aceng juga berdalih, duit yang ditransfer untuk Masikamba merupakan pinjaman. Aceng juga mengaku pinjaman Masikamba tersebut belum dilunasi hingga saat ini.

Di persidangan sebelumnya, tiga saksi wajib pajak di KPP Pratama Ambon, masing-masing pengusaha kapal Jhony de Queljoe alias Siong, Bos Bob Motor Bob Tanizal dan Bos Aneka Motor Oei Winardi Jefry. Ketiga saksi juga mengaku uang ke Masikamba merupakan pinjaman.

Dan faktanya, semua duit pinjaman itu belum dikembalikan. Kecuali Siong yang mengaku, Masikamba telah mengembalikan duit sebesar Rp 50 juta secara tunai, namun diragukan oleh KPK karena tidak ada catatan, baik di kas perusahaannya maupun bukti kuitansi.

JPU KPK mengaku, fakta adanya modus “pinjaman” tersebut akan ditelisik penyidik KPK. Apakah modus ini menjadi bahan bagi KPK untuk mengungkap pelaku lain yang berperan selaku pemberi suap, Takdir enggan menjawab langsung.

“Silahkan teman-teman (wartawan) simpulkan sendiri,” kata Takdir Suhan. Pinjaman namun tidak ada bukti pengembalian menjadi indikasi gratifikasi. Seperti disampaikan Ketua Majelis Hakim Pasti Tarigan, pinjaman dapat dinilai sebagai fasilitasi dari para wajib pajak kepada pejabat pajak, yang dalam perkara ini adalah Masikamba. (KTA)

Komentar

Loading...