Korupsi Lahan PLTMG, Ferry Tanaya tak Tersentuh
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Kejaksaan Tinggi Maluku belum juga menuntaskan kasus korupsi pengadaan lahan pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Kabupaten Buru. Hingga kini, Ferry Tanaya yang mengklaim sebagai pemilik lahan belum diperiksa.
Sejak dilaporkan pada 28 Oktober 2018, penanganan perkara pengadaan lahan yang dibeli PT PLN UIP Maluku sebesar Rp 6.401.814.600 tahun 2016 ini belum membuahkan hasil. Padahal akibat dikorupsi, diduga merugikan negara mencapai Rp 6 miliar.
Enam bulan dilaporkan, penanganan kasus masih berkutat diproses penyelidikan. Kejati Maluku juga irit bicara terkait penyelidikan kasus yang menyeret nama pengusaha kondang Ferry Tanaya.
Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati Maluku, Samy Sapulete mengaku, penanganan kasus ini masih tahap penyelidikan. “Masih dalam proses penyelidikan,” kata Samy menjawab Kabar Timur melalui Whatsapp, Senin (1/4).
Samy tidak menjelaskan, alasan penanganan kasus ini belum dinaikkan ke penyidikan.
Diberitakan sebelumnya, bau korupsi pengadaan lahan yang dibeli PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Maluku dari Ferry Tanaya sebagai pemilik tanah, jaksa bergerak mengumpulkan bahan keterangan.
Lima 5 orang dari pihak terkait termasuk PLN sudah dimintai keterangannya. Namun kepala PLN UIP Maluku dan Ferry Tanaya yang mengklaim sebagai pemilik lahan, hingga kini belum diperiksa korps Adhyaksa.
Bau korupsi pembelian lahan pembangunan PLTMG mulai tercium setelah Badan Pertanahan Negara, Notaris dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buru tidak dilibatkan dalam proses jual beli lahan tersebut. Ini terkuak dalam surat penyerahan atau pelepasan hak atas tanah kepada negara seluas 48.654.50 meter persegi atau 48 hektare.
Selain itu, lahan yang dibeli PLN diduga mengalami pembengkakan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2016. Harga sesuai NJOP Rp 36.000. Namun melonjak menjadi Rp 131.600 per meter per segi.
Dalam surat pelepasan hak lahan, Fery Tanaya tidak mencantumkan atau menjelaskan mengenai status tanah yang diakui sebagai miliknya. Tidak adanya penjelasan itu diduga disengaja. Sebab, tanah yang diakui Fery Tanaya ini hanya berdasarkan Erfak tahun 1938. Sementara tanah berstatus Erfak tidak bisa dijual belikan.
Tanah itu diukur BPN Buru. Namun dalam penandatangan surat pelepasan hak, BPN tidak dilibatkan. Anehnya, saksi dalam pelepasan hak itu tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan pembelian lahan tersebut. Diantaranya atas nama Kapolsek Namlea, Danramil Namlea, dan Staf Desa serta Camat. Nama staf desa dan Camat baru dimasukan sebagai saksi. Buktinya, kedua nama saksi itu baru ditulis tangan tanpa menggunakan cap.
Penandatanganan surat pelepasan hak tanah berlangsung di Kantor Camat Namlea, 28 Juli 2016 . Lebih parahnya lagi, selain BPN, dalam surat pernyataan pelepasan hak atas tanah kepada negara itu juga tidak melibatkan pihak Notaris dan Pemkab Buru.
Tanah yang dijual Ferry Tanaya kepada PLN tahun 2016 sebenarnya bukan miliknya, tapi Petuanan Liliali dan Moch Mukadar. Ini dibuktikan dengan adanya gugatan yang dilayangkan Fery Tanaya. Fery dinyatakan kalah di di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Ambon, Pengadilan Negeri Ambon, Kasasi Mahkamah Agung TUN dan terakhir di PK Perdata MA yang ditolak tanggal 30 Mei 2017.
Fery Tanaya dinyatakan kalah berdasarkan Keputusan PT. TUN Makassar No: 94/B/2014, Keputusan Kasasi MA. No 70 K/TUN/2015, Keputusan MA. No 937 K/PDT/2015, Keputusan PK MA. No 184/PK/PDT/2017, dan Keputusan MA. No: 761/K/PDT/2017. (CR1)
Komentar