Tunda Pelantikan Gubernur, Pakar: Cacat Hukum

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Jadi aneh kalau gubernur-wagub Maluku ditunda karena proses seremonial (pelantikan). Publik bisa pertanyakan, jangan-jangan ada kaitan dengan “pesta” Pilpres. Benarkah?
Penundaan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, Murad Ismail-Barnabas Orno oleh presiden Joko Widodo, disikapi dua pakar hukum tata Negara, Feri Amsari dan Refly Harun. Setelah penundaan pelantikan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menunjuk Sekda Provinsi Maluku, Hamin Bin Thaher sebagai pelaksana harian gubernur Maluku.
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari, yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, menilai penundaan pelantikan gubernur-Wagub Maluku merupakan sebuah kesalahan.
Pasalnya, pelantikan gubernur tidak ada relasinya dengan pemilihan presiden, sehingga presiden harus melantik sesuai dengan tanggal yang ditentukan. “Bagaimana pun Presiden harus segera melantik sesuai tanggal yang ditentukan, karena proses pelantikan gubernur tidakada relasinya dengan Pilpres,” kata Feri Amsari kepada Kabar Timur di Jakarta, Rabu, (13/3), kemarin.
Menurut dia, kalau ada penundaan, nantinya terkesan seolah-olah (presiden melalui) Mendagri ingin menempatkan orang yang mampu bekerja dibawah kendalinya menuju proses Pilpres 2019.
“Itu akan menimbulkan cacat administrasi. Kecuali tidak ada gubernur terpilih, bisa saja diangkat Plh atau Plt berdasarkan kondisi tertentu tapi ini gubernur terpilih sudah ada. Dengan tidak mungkin ada alasan menunda pelantikan,” terang dia.
Dikatakan, presiden bisa meminta bawahannya melantik, jika dia (Presiden), tidak punya waktu untuk melantik gubernur terpilih atas nama dirinya. “Memang aneh langkah-langkah Pak Presiden kalau kemudian menunda itu. Bagi saya itu cacat hukum,” tandasnya.
Dia menjelaskan gubernur terpilih bisa berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memberikan surat kepada Mendagri untuk presiden tembusan KPU untuk melantik dirinya. Kalau tidak direspon surat Gubernur terpilih maka, gubernur bisa mengajukan perkara itu ke pengadilan tata usaha negara untuk segera ditetapkan agar dia menjadi gubernur terpilih berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan.
Seanjutnya tambah dia bila langkah-langkah presiden itu bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah dan UU Pilkada akan beresiko bagi Presiden, daerah juga Gubernur terpilih, makanya harus ditempuh langkah hukum untuk itu.
“Ya saya pikir tidak ada alasan tinggal dikasih sumpah lalu dilantik dan ditetapkan sebagai gubernur sebagaimana prosedur yang ditentukan UU Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota dan UU Pemerintahan Daerah,” ujar dia.
Untuk itu dia berpendapat, aneh kalau Gubernur-Wagub Maluku ditunda karena proses seremonial (pelantikan). “Proses pelantikan itu sifatnya seremonial, tidak menentukan apa-apa. Lalu kalau ditunda maka itu, akan menjadi masalah yang dipertanyakan publik. Jangan-jangan publik akan mengaitkan penunjukan (Plh gubernur) sebagai orangnya presiden yang membantu di Pilpres 2019. Ini bisa jadi dugaan karena itu, tidak ada alasan menunda pelantikan gubernur terpilih,” ucap Feri.
UU Administrasi Pemerintahan, tegasnya, membuka ruang bagi gubernur terpiih menempuh jalur hukum. Karena UU Administrasi Pemerintahan yang bisa dipermasalahkan tidak hanya soal putusan tetapi juga tindakan pejabat tata usaha negara.
Oleh karena itu, lanjut dia, tindakan presiden menunda pelantikan bisa jadi alasan untuk diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara agar ditetapkan menjadi gubernur. “Bisa difiktif positifkan kalau Presiden tidak bertindak (melantik), lalu 10 hari setelah dia tidak bertindak berdasarkan surat itu, Presiden bisa diajukan ke Peradilan PTUN agar ditetapkan menjadi gubernur,” tutup Fery.
Terpisah, Refly Harun,Pakar Hukum Tata Negara, melihat penundaan pelantikan gubernur-Wagub Maluku terpilih dalam tiga perspektif, yakni teknis, politik dan administrasi. Dari perspektif administratif, masa jabatan gubernur-Wagub Maluku periode 2014-2019, yang selesai 10 Maret 2019, maka gubernur-Wagub terpilih harus dilantik.
“Harus ada penggantian, apalagi gubernur dan Wagub sudah terpilih. Saya termasuk orang yang mengatakan Plt atau Plh itu tidak boleh lama-lama, karena mereka (Plt-Plh) bukan orang yang diberikan mandat oleh rakyat untuk memimpin,” ujarnya dihubungi Kabar Timur di Jakarta, Rabu (13/3).
Pertimbangannya, lanjut dia, rakyat butuh pelayanan, butuh janji-janji (kampanye) itu dilaksanakan pada hari pertama (dilantik) langsung oleh Gubernur terpilih, sehingga harusnya pemerintah pusat secara administratif sudah menyiapkan itu.
Dikatakan, dalam perspektif, teknis, bisa jadi karena sekarang Presiden konsentrasi untuk Pilpres 2019. “Cuma kan pelantikan itu nggak lama. Apalagi pelantikan itu tidak perlu didatangi (presiden ke daerah), tapi datang (gubernur-wagub terpilih) ke Jakarta untuk dilantik. Kan biasanya dikumpulkan, dan waktunya (pelantikan) cuma beberapa menit saja. Yang sibuk itu yang mau dilantik biasanya, yang melantik itu cukup sebentar saja. Masa tidak punya waktu sebelum 17 April 2019,” sindir Refy Harun.
Karena itu, kata Refy, tidak heran, kalau kemudian (penundaan pelantikan itu) orang menduga ada aspek politiknya. Aspek politiknya itu terkait konteks Pilpres. Menurutnya, bisa jadi yang dilantik ini tidak pro (Capres petahana) atau sebaliknya, Plt atau Plh (gubernur) sudah bekerja untuk kemenangan salah satu pasangan calon. Atau juga sebaliknya (Murad-Barnabas) yang akan dilantik ini ada kecenderungan berbeda orientasinya dengan incumbent (presiden), misalnya.
“Jadi dalam tiga perspektif itu saya meletakkan, perspektif mana yang harus. Saya nggak bicara benar atau nggak ya. Kalau kita melihat persfektif administratif itu harus diletakkan sebagai tiang penyangga. Dan persfektif adminsitratif tidak boleh dikalahkan persfektif teknis apalagi politik. Karena secara teknis mudah dilakukan, secara politik ya tidak boleh dibawa ke ranah politik, seharusnya begitu,” kata dia.
Kenapa, lanjut Refy, karena bagaimanapun pelayanan rakyat dan lain sebagainya harus segera ditunaikan oleh mereka yang terpilih. “Sekali lagi oleh mereka yang terpilih, bukan mereka yang tidak terpilih (Plh gubernur),” tegas dia.
Menyoal apakah dari aspek Hukum Tata Negara melanggar? “Intinya kalau yang baru belum dilantik maka tentu saja yang baru (gubernur-wagub terpilih) belum bisa laksanakan tugasnya. Tetapi saya bicara mungkin bukan melanggar Hukum Tata Negara tapi tidak bagus dari segi good governance. Karena saya bisa bilang aspek administrasinya harus bersih, harus clean, harus jelas. Sementara aspek teknisnya bisa diatasi, nggak susah. Aspek politiknya harusnya nggak boleh ikut gitu,” tutupnya. (KT)
Komentar