Ketidakadilan Korupsi Lahan Darmo 51

ILUSTRASI

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Fakta persidangan pembelian lahan dan gedung Bank Maluku di jalan Darmo 51 Surabaya itu tidak melalui RUPS. Tetapi melalui sebuah konsultasi terbatas antara direksi dan pemegang saham mayoritas.

Tak tahu kenapa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku tidak pernah menyentuh dua petinggi Bank Maluku, Gubernur Maluku Said Assagaff dan Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy dalam perkara korupsi pembelian dan pengadaan lahan dan gedung kantor cabang bank tersebut di Surabaya. Padahal fakta persidangan tiga terdakwa, Idris Rolobessy, Petro Ridolf Tentua dan Hentje Abraham Toisuta, jelas majelis hakim Pengadilan Tipikor Ambon alot mengejar peran kedua orang ini.

Kasipenkum Kejati Maluku Samy Sapulette dihubungi untuk dimintai penjelasan, mengelak. Dia menyatakan, untuk menindaklanjuti fakta persidangan seperti itu, perlu dikonfirmasikan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) lebih dulu.

“Setahu saya sudah ada 4 orang yang dipidana. Soal fakta-fakta persidangan seperti apa harus dikofirmasi kepada JPU yang menyidangkan perkara ini,” kata Samy melalui pesan singkatnya, Selasa, kemarin.

Jawaban, Kasipenkum Kejati ini terkesan asal-asalan. Sekadar tahu saja, pasca mantan Dirut Idris Rolobessy dan mantan Kadiv Renstra dan Korsek PT Bank Maluku-Malut dan rekanan Bank Maluku Henjte Abraham Tentua divonis hakim tipikor Pengadilan Tipikor Ambon para JPU yang pernah menyidangkan perkara ini dimutasi. Sedang mantan Kejati Yan Maringka dan Kepala Seksi Penyidikan Ledrik Tekendengan, terbang ke tempat tugas lain.

Catatan Kabar Timur, sebuah persidangan yang membuka fakta adanya peran Gubernur Said Assagaff dan Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy, ketika JPU menghadirkan saksi ahli BPKP R Wahyudi. Ketika itu sidang dipimpin AR Didi Ismiatun didampingi Syamsidar Nawawi dan Hery Leliantono.

Di hadapan majelis hakim, saksi R Wahyudi yang juga ketua tim auditor BPKP Provinsi Maluku itu mengaku, pembelian lahan dan gedung di jalan Darmo 51 Surabaya itu tidak melalui RUPS. Tetapi melalui sebuah konsultasi terbatas antara direksi dan pemegang saham mayoritas yakni Gubernur Said Assagaff dan Wali Kota Ambon.yang belakangan disebut-sebut RUPS Terbatas.

“Dalam proses audit ini kami pernah meminta melakukan klarifikasi ke Gubernur Maluku Said Assagaff dan mantan Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy selaku pemegang saham. Tapi surat kami untuk pertemuan itu tidak disampaikan oleh jaksa, sehingga pertemuannya tidak jadi dilakukan,” beber R Wahyudi.

Terpisah Koordinator Paparissan Perjuangan Maluku (PPM_95 Djakarta) Adhy Fadly menilai, dua pemegang saham pengendali ini layak dimintai pertanggungjawaban. Sebab merujuk pada UU Perseroan Terbatas, RUPS merupakan organisasi tertinggi penentu kebijakan.

“Organ RUPS patut dimintai pertanggungjawaban. Setelah SK RUPS diberikan ke direksi, tanggungjawab tetap melekat pada pemberi SK RUPS. Tanggungjawab ada pada pemberi mandat,” ujarnya.

Karena itu Adhy mendesak, Kejati Maluku yang sekarang Triyono Haryono membuka kembali file-file lama, kasus ini. “Kalau Kajati komitmen menegakkan keadilan hukum, dia harus membuka file-file dulu lah. Masih ada ketidakadilan di perkara pembelian lahan dan gedung Bank Maluku di Surabaya,” cetusnya.

Catatan Kabar Timur, terungkap kalau PT Bank Maluku-Malut pada tahun 2015 melakukan pengadaan kantor cabang di wilayah surabaya dengan melakukan pembelian tanah dan bangunan senilai Rp 54 miliar.

Dalam proses pengadaan tersebut ada dukumen SK RUPS tentang Persetujuan Pengadaan Lahan dan Gedung untuk Kantor Cabang Surabaya oleh PT BPD Maluku dan Maluku Utara. SK RUPS ini ditandatangani oleh Said Assagaff selaku Pemegang Saham Pengendali dan Richard Louhenapessy selaku wakil Pemegang saham.

Berdasarkan keterangan saksi Dirut PT Bank Maluku-Malut Idris Rolobessy di persidangan terungkap kalau SK RUPS Terbatas No: 01/ RUPS-T/ PT. BPDM/ 2014 tanggal 13 Nopember 2014 yang ditandatangani Assagaff dan Louhenapesy dibuat berdasarkan permintaan dari Direksi dan Dewan Komisaris.

Hal ini ditempuh karena Direksi yang ada ketika itu hanya ada dua orang. Sehingga ada kekosongan direksi yang kemudian menyebabkan keraguan dari direksi dalam mengambil keputusan untuk melakukan pembelian tanah dan bangunan di Surabaya.

Cilakanya, SK RUPS dimaksud, ditandatangani secara back date alias tanggal mundur sekitar bulan Mei 2015, padahal sebetulnya ditandatangani tanggal 13 Nopember 2017.

Di sini lah terlihat niat tidak baik para pihak yang berperan dalam transaksi pembelian lahan dan gedung kantor cabang PT Bank Maluku-Malut di Surabaya itu. (KTA)

Komentar

Loading...