Effendi Gazali: Dinasti Politik Berbahaya

Effendi Ghazali

KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Harapan Pemilu di Maluku kali ini bersih dari praktik politik uang. Citra negatif mengakarnya dinasti ini harus dibenahi bersama.

Pakar Komunikasi Politik, Effendi Gazali mengatakan Praktik politik dinasti di era reformasi menunjukkan gejala mengkhawatirkan. Publik disuguhi praktik politik dinasti di sejumlah daerah di Indonesia.

Menurut dia, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan sekelompok orang yang terikat hubungan keluarga.

“Dinasti politik rentan menciptakan sifat koruptif kepala daerah. Kekuatan besar yang dimiliki kepala daerah, kerap kali digunakan untuk melanggengkan kekuasaan,” kata Effendi Gazali menjawab Kabar Timur via telepon selulernya, kemarin.

Untuk diketahui, di Maluku, dinasti politik terbangun di Kabupaten Maluku Tengah (Malteng). Daerah berjuluk Pamahanunusa ini lebih 15 tahun berada dalam genggaman dinasti Tuasikal.

Dinasti Tuasikal mulai dibangun sejak Abdullah Tuasikal memimpin kabupaten tertua di Maluku selama dua periode atau 10 tahun.
Habis masa jabatan, giliran kakak kandung Abdullah, Abua Tuasikal terpilih sebagai bupati Malteng periode 2012-2017. Di Pilkada 2017, Abua kembali terpilih memimpin Malteng lima tahun kedepan dengan melawan kotak kosong.

Selanjuitnya, Amrullah Amri Tuasikal anak dari Abdullah Tuasikal tampil dipanggung politik. Ia terpilih terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019. Tapi, Jauh sebelumnya, Mirati Dewaningsih, istri Abdullah Tuasikal telah melenggang ke Senayan sebagai anggota DPD dan DPR RI.

Dinasti Tuasikal sepertinya sudah mengakar dan sulit diruntuhkan. Dinasti Tuasikal telah terbentuk dan tertanam dalam bentuk klientalisme politik yang tersusun secara kelembagaan dari periode-periode kepemimpinan.

Bagi Effendi Gazali, dinasti politik harus dilawan. Mengapa? sebab dinasti politik berbahaya karena periodenya akan jadi amat panjang dan terjalin hubungan simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. “Bukan hanya di Maluku Tengah, di beberapa wilayah di Indonesia kedapatan juga dinasti politiknya. Ini berbahaya dan harus dilawan,” tegas Effendi.

Masyarakat Malteng diingatkan jangan sampai kembali terjebak dalam politik transaksional dan dinasti. Sebab, kedua hal ini dapat membuat masyarakat makin jauh dari kesejahteraan. Kemakmuran bakal dinikmati oleh segelintir orang.

“Ini penting. Semua harus bergandeng tangan untuk katakan tidak pada politik uang, karena masyarakat Malteng harus bisa merubah Malteng menjadi wilayah yang bersih dan lebih baik lagi ke depan,” kata dosen program pascasarjana ilmu komunikasi Universitas Indonesia.

Menurutnya, terjalin hubungan simbiosis mutualisme ini, artinya seakan-akan ada saling pengertian dan jadi saling tidak ingat fungsi pengawasan atau jadi “segan mengawasi atau kontrol.”

Misal di beberapa daerah bisa terjadi, akademisi, LSM, aparat penegak hukum, tokoh agama, tokoh adat, semua jadi segan atau tidak lagi menjalankan fungsi pengawasan atau penegakan hukum, karena sudah saling kenal dan simbiosis mutualisme tersebut. “Jadi biasanya diupayakan betul-betul karena meritokrasi yang utama, bukan karena dinasti,” tandasnya.

Di beberapa negara, kata Effendi, diberikan jarak satu periode, baru sebuah dinasti boleh lagi masuk pemilihan pejabat publik. Hal itu diberlakukan sehingga dinasti politik tidak mengakar dan membentuk satu kekuatan yang sulit diruntuhkan. “Ada beberapa negara yang terapkan sistem seperti ini. Mereka takut dinasti politik ini mengakar,” kata Effendi.

Dia berharap, tidak ada politik dinasti lagi di pemilu legislatif maupun Pilkada kabupaten/kota di Maluku pada masa mendatang. Begitu juga dengan politik uang dalam pesta lima tahunan tersebut. “Ya saya harap pelaksanaan Pemilu di Maluku bisa bersih dari praktik-praktik politik uang. Citra negatif mengakarnya dinasti ini harus dibenahi bersama dalam Pileg 2019 ini,” ujarnya. (MG3)

Komentar

Loading...