Bau Korupsi PLTMG Namlea Mulai Tercium
KABARTIMURNEWS.COM, AMBON - Penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku hingga kemarin masih terus mengumpulkan bukti-bukti kasus dugaan korupsi pengadaan lahan pembangunan proyek PLTMG di Namlea, Kabupaten Buru. Meski begitu, aroma korupsinya mulai tercium.
Kepala Seksi Penyidikan (Kasidik) Kejaksaan Tinggi Maluku, Abdul Hakim, mengaku, kasus dugaan korupsi pengadaan lahan PLTMG Namlea, masih terus diselidiki tim penyelidik. “Dugaan perbuatan (korupsi) itu ada. Tapi kita masih mengumpulkan bukti-bukti untuk memperkuatnya,” kata Hakim, Kamis (13/12).
Dalam kasus itu, sejumlah saksi telah diperiksa. Penyidik masih akan memanggil saksi lainnya. Setelah semuanya diperiksa, kemudian dilakukan pemanggilan untuk Ferry Tanaya. “Kalau GM PLN (UIP Maluku) belum. Nanti ada beberapa saksi lagi yang akan kita panggil. Terakhir baru kami panggil Ferry Tanaya,” ungkapnya.
Sebelumnya, pembelian lahan pembangunan PLTMG di Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, tercium bau korupsi. BPN, Notaris dan Pemkab Buru tidak dilibatkan dalam proses jual beli lahan tahun 2016. NJOP lahan dibengkakan, sehingga negara diduga mengalami kerugian sebesar kurang lebih Rp 4-6 milyar.
Terungkapnya fakta baru kasus pembelian lahan antara PLN UIP Maluku dan Fery Tanaya, itu terkuak dalam surat penyerahan atau pelepasan hak atas tanah kepada negara seluas 48.654.50 meter persegi. Kasus itu, lalu dilaporkan kepada Kejaksaan Tinggi Maluku, Senin (29/10).
Lahan yang dibeli PLN diduga mengalami pembengkakan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2016 sebesar Rp 36.000. Dalam kesepakatan bersama, NJOP dibengkakan menjadi Rp 131.600 permeter persegi. Total lahan yang dibeli sebesar Rp 6.401.814.600.
“Saya sudah laporkan kemarin (Senin) siang kepada Kejati Maluku. Dalam surat pelepasan hak yang saya dapat, NJOP tercantum sebesar Rp 131.600. Padahal NJOP di Buru saat itu hanya Rp 36.000. Jadi ada pembengkakan,” kata Moch Mukadar kepada Kabar Timur, Selasa (30/10).
Ironisnya, dalam surat pelepasan hak lahan seluas 48.654.50 meter persegi, Fery Tanaya tidak mencantumkan atau menjelaskan mengenai status tanah yang diakui sebagai miliknya.
Tidak adanya penjelasan tentang status tanah itu diduga disengaja. Sebab, tanah yang diakui Fery Tanaya ini hanya berdasarkan Erfak tahun 1938. Sementara tanah berstatus Erfak sendiri, tidak bisa di jual belikan.
“PLN juga semestinya harus jeli. Harusnya PLN tahu dan memahami mekanisme proses jual beli. Tapi saya menduga ada konspirasi dalam hal jual beli tanah ini,” tambah Mukadar yang memiliki lahan seluas 2 hektar di atas tanah sengketa tersebut. (CR1)
Komentar