Legislator Minta Rangkap Jabatan Pjs Dihindari

DOK/KABAR TIMUREdwin Huwaee

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON-Kebijakan Bupati Maluku Tengah (Malteng) Abua Tuasikal menunjuk pejabat sementara (Pjs) di negeri/desa tertentu memang menjadi kewenangan sepenuhnya Bupati Abua. Namun, ketika orang yang ditunjuk adalah dia yang sudah memimpin di salah satu negeri tertentu tetapi kemudian diangkat lagi menjadi Pjs di negeri lain maka ini menjadi sesuatu yang kurang objektif.

Sebab, akan menjadi sebuah pertanyaan, apakah Pjs yang bersangkutan mampu untuk mengolah dan memimpin dua negeri/desa sekaligus secara bersamaan ataukah tidak.

“Memang penunjukan Pjs desa/negeri oleh bupati hal wajar. Tapi ada rangkap jabatan maka efektifitas Pjs akan dipertanyakan. Apakah mampu ataukah tidak. Untuk itu, Bupati Abua sebisa mungkin harus menghidari kebijakan rangkap jabatan ini,”kata Ketua DPRD Maluku, Edwin Adrian Huwae kepada Kabar Timur di Baileo Rakyat Karang Panjang Ambon, Senin (15/10)

Dia mengatakan, untuk menetapkan suatu kebijakan, Bupati mestinya lebih bijak dan menghindari adanya aspek politis. Sebab, yang rakyat butuhkan adalah bagaimana pemerintahan itu berjalan baik sehingga pelayanan publik dan pembangunan di desa pun demikian.“Soal kebijakan-kebijakan seperti ini, sebisa mungkin jangan ada kaitannya dengan soal politik. Tapi saya yakin penuh, Pak Abua tidak akan menggunakan jabatannya untuk kepentingan politik,”tandas Ketua DPD PDIP Maluku itu.

Ketua Komisi A DPRD Maluku, Melkias Frans menyatakan, ketika siapa saja yang ditunjuk bupati sebagai Pjs di desa tertentu, maka wajib baginya untuk mempersiapkan pengangkatan raja defenitif. Kemudian, Pjs harus menjalankan roda pemerintahan desa agar supaya pemerintahan tidak vakum dan pelayaann umum tetap jalan.

Namun ketika Bupati menunjuk siapapun untuk menjadi Pjs di desa tertentu sesuai selera bupati bahkan memperpanjang massa jabatan Pjs hingga bertahun-tahun, maka tidak ada salahnya karena itu kewenangan bupati. “Kalau bupati lebih tonjolkan aspek politis, ya tentu dong. Kebijakan seperti ini, yang namanya aspek politis tetap ada. Kewenangannya ada pada bupati,”jelasnya.

Berbeda dengan Melkias, anggota Komisi A DPRD Maluku, Hermanus Hattu malah mengaku kesal dengan penunjukan Pjs desa ikut kemauan Bupati Abua. Bupati Abua lebih menonjolkan selera yang mengarah pada aspek politis. Padahal, agenda pemilihan kepala desa dan raja defenitif mestinya diefektifkan.

“Meski kewenangan di Bupati tapi apakah kebijakan itu sudah objektif. Contoh saja, ada Pjs yang menjabat delapan hingga 10 tahun tapi apakah tugas Pjs untuk mempercepat pengangkatan raja defenitif itu telah dijalankan oleh personil bupati yang bersangkutan? Kan tidak,”tegasnya.

Dia mencontohkan seperti yang terjadi di beberapa negeri adat di Kecamatan Leihitu. Kekosongan raja defenitif di negeri Hitu Messing telah berlangsung belasan tahun. Di Assilulu dan beberapa negeri lain pun demikian. Namun, Pjs yang ditugaskan belum mampu menindaklanjuti tugas dan fungsi yang Pjs bersangkutan embani.

(Mg3)

Komentar

Loading...