Kisah Raja Soya Ambon Selamat dari Tsunami & Gempa di Palu
KABARTIMURNEWS.COM,AMBON - Bencana yang melanda Kota Palu, Sulawesi Tengah,Jumat, 28 September 2018 menyisakan kisah pilu bagi Raja Negeri Soya, Kota Ambon, Jhon L Rehatta.
Pria 69 tahun itu harus memaksakan dirinya berlari sejauh 3 Km agar bisa lolos dari amukan tsunami yang menewaskan ribuan orang itu.
“Bagi beta (hidup) ini mukjizat Tuhan. Beta orang tua yang sudah berusia 69 tahun harus berlari sejauh 3 kilo meter untuk menyelamatkan diri dari musibah gempa dan tsunami yang terjadi di Kota Palu,” kisah Rehatta kepada Kabar Timur di kediamannya, Soya, Kamis (4/10).
Ketua Majelis Upulatu Kota Ambon itu berangkat dari Ambon dan tiba di Palu, Jumat 28 September 2018 pukul 04.00 WITA. Kedatangan Rehatta untuk memperingati HUT Kota Palu ke-40. Rehatta diundang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu tokoh adat perwakilan Maluku.
Jumat sore, Jhon tiba di hotel Swisbell, tempat tamu undangan menginap. Usai meletakan seluruh barang bawaan di kamar hotel, Jhon beranjak ke teras hotel untuk mengisi perut sambil memandang keindahan laut Palu.
Ditemani salah satu undangan asal Wakatobi, Jhon bercerita panjang lebar soal daerah masing-masing. Seketika, rasa takut menghampiri Jhon ketika melihat air laut yang biasanya biru berubah menjadi agak hitam. Angin tidak kencang tapi beriak.
“Bang, coba perhatikan air laut, seperti ada kumpulan kertas berwarna putih. Apakah ini tanda akan ada tsunami? Karena saat kita turun ke sini, ada pegawai hotel yang katakan, ada terjadi gempa namun tidak begitu kuat,”kata Jhon kepada rekannya asal Wakatobi itu.
Namun, prasangka itu terbantahkan sendiri oleh Jhon karena dirinya berpikir teluk di laut Palu sangat lebar dan susah terjadi tsunami. Tapi, saat dia berdiri untuk membayar harga nasi goreng yang disantapnya, gempa berkekuatan 7,4 skala richter langsung mengguncang tanah Palu.
Jhon terlempar sejauh tujuh meter ke arah serpihan kaca yang juga ikut pecah akibat goyangan gempa. Jhon berpegangan pada trali besi. Usai gocangan itu, Jhon berdiri dan melihat ke arah laut. Tenyata, air laut sudah naik hingga menyusuri badan jalan raya. Jhon kemudian berteriak agar secepatnya lari ke tempat aman karena terjadi tsunami.
Sebagian orang masih menonton air naik ke badan jalan, Jhon dengan rekannya itu memilih kabur untuk menyelamatkan diri. Turun dari tangga hotel ke jalan raya, air sudah berada tepat betis Jhon.
Tanpa pikir panjang, Jhon mencari jalan lain agar bisa keluar dari kepungan air. Tanah pada dataran tinggi yang menjadi incaran Jhon. Sejauh tiga kilo meter yang harus ditempuh Jhon untuk mencapai salah satu puncak yang berada di Kota palu.
“Tanpa menoleh ke belakang, saya langsung lari menuju dataran yang lebih tinggi. Untuk mencapai dataran itu, saya harus berlari sejauh tiga kilo meter. Puji Tuhan, meski saya sudah tua, tapi saya bisa mencapai tujuan yang saya maksud,” kenang Jhon.
Hampir dua hari, Jhon bersama sekitar 78 orang bermukim di puncak yang dijadikan lokasi pengungsian. Tidak makan, tidak minum, tidak mandi, bukanlah suatu masalah bagi Jhon. Terpenting, Jhon bisa keluar dari daerah itu dan pulang ke tanah kelahirannya Ambon.
Tanggal 29 September 2018, Jhon dibantu pegawai hotel Swisbell menuju Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie. Sampai di bandara udara kebanggaan Kota Palu itu, Jhon menunggu pesawat untuk terbang ke Makassar.
Tapi hasilnya nihil. Pukul 05.00 WITA hingga pukul 17.00 WITA, Jhon tidak diberikan kesempatan untuk bertolak menggunakan pesawat Hercules. Penantian itu dilanjutkan besok harinya 30 September 2018.
Namun, kejadian yang sama dialami Jhon. Menunggu dari pagi hingga sore hari tapi juga tidak mendapatkan pesawat. Masalahnya, penumpang sangat banyak dan antri hingga mencapai ribuan orang.
Beruntung pesawat Wings Air yang tiba pukul 07.00 WITA. Jhon menghampiri pesawat tersebut dan diberi kesempatan bertolak ke Makassar. Tiba di Makassar pada pukul 22.00 WITA, Jhon mengabari keluarganya di Ambon.
Jhon mengaku tidak sempat mengabari keluarga saat kejadian berlangsung karena signal telepon seluler terputus. Pada 1 Oktober, barulah Jhon terbang dari Makassar ke Kota Ambon. Sampai di Ambon, Jhon dijemput keluaga dan langsung dibawakan ke kediamannya di Soya.
“Sampai saat ini saya masih merasakan trauma yang mendalam. Untuk jalan saja, saya masih merasakan seperti tanah ini bergelombang. Ya semoga saja kejadian ini tidak terjadi di Kota Ambon,”pungkasnya.
Jhon menuturkan selama dua hari di lokasi pengungsian pasca gempa, Jhon sempat putus asa dan bingung apakah bisa kembali ke Ambon dengan selamat. Anaknya yang kuliah di Jakarta panik karena tidak bisa menghubungi Jhon yang kala itu berada di Palu.
Kekhawatiran keluarga Jhon berlangsung selama dua hari. Tanggal 30 September 2018, barulah keberadaan pria pecinta alat musik itu bisa diketahui. Kabar Jhon selamat ketika dia sudah berada di Makassar. (MG3)
Komentar