Polemik Hukum Calon Mantan Napi Koruptor
KABARTIMURNEWS.COM,AMBON - Setidaknya satu putusan Panwaslu dan dua putusan Bawaslu di tiga daerah berbeda memantik polemik mantan napi korupsi diperbolehkan menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Yakni putusan Panwaslu Toraja Utara, Bawaslu Aceh, dan Bawaslu Sulawesi Utara.
Tiga putusan tersebut membuat gamang KPU, karena di satu sisi putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat berdasarkan Pasal 469 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, namun di sisi lain putusan Bawaslu demikian mengabaikan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Adanya putusan Bawaslu demikian dimungkinkan karena adanya perbedaan pendapat antara Bawaslu dengan KPU berkaitan syarat calon dalam UU 7/2017 dengan PKPU 20/218. Pasal 240 ayat (1) hurufg UU 7/2017 disebutkan mantan terpidana dapat mencalonkan diri, kecuali secarater bukadan jujur mengumumkan kepada publik. Sedangkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h PKPU 20/2018 tidak memberikan pengecualian tersebut kepada mantan terpidana bandarnarkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan/atau korupsi untuk mencalonkan diri.
Pengaturan lebih lanjut Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017, diadopsi dalam PKPU 20/2018 dengan norma Pasal 7 ayat (1) huruf g danPasal 7 ayat (4) hurub a danhuruf b. Bedanya dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g diatur secara kumulatif, sedangkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf diatur secara limitatif dan alternatif, yakni mantan terpidana dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g dapat mencalonkan diri dengan melaksanakan Pasal 7 ayat (4) huruf a dan huruf b.
Pasal7 ayat (1) huruf g menyatakan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ya ng diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 7 ayat (4) Huruf a menyatakan mantan terpidana dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g harus mengumumkan kepada publik dan memuat keadaan sebagai mantan terpidana dalam daftar riwayat hidup. Pasal 7 ayat (4) Huruf b menyatakan untuk mantan terpidan culva levis (kealpaan ringan) dan mantan terpidana karena alasan politik harus mengumumkan kepada publik.
PKPU 20/2018 dalam normanya secara jelas memberikan pembatasan frase mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik, kecuali kategori mantan terpidana dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h. Norma Pasal 7 ayat (1) huruf h ini tidak termasuk kategori yang dapat mengumumkan jujur dan terbuka kepada publik, karena mereka termasuk kategori mantan terpidana yang tidak dapat mencalonkan diri.
Pasal7 ayat (1) huruf h PKPU 20/2018 menegaskan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan/atau korupsi.
Karenanya Pasal 7 ayat (4) huruf a dan huruf b hanya memberikan notasi hukum sesuai frase kecuali mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik sesuai alinea terakhir Pasal 240 ayat (1) huruf g UU/7/2017 dan memberikan pintu keluar terhadap Pasal 7 ayat (1) huruf g, sehingga hanya mantan terpidana yang bukan disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h yang dapat mencalonkan diri.
Kalau dibaca secara konstruktif, Pasal 7 ayat (1) huruf g lebih berlaku kepada bukan mantan terpidana, yang dibuktikan dengan surat keterangan tidak pernah dipidana dari pengadilan negeri. Makanya PKPU tidak memuat ketentuan tersebut dalam satu ayat dalam pasal, seperti Pasal 240 UU 7/2017. Norma kecuali mengumumkan secara publik diatur dalam ayat yang terpisah dalam Pasal 7 ayat (4) hurif a dan huruf b. Dalam kontruksi Pasal 240 ayat (1) huruf g disebutkan secara kumulatif, sehingga maknanya lebih kepada mantan terpidana.
Sifat PKPU yang lebih teknis dan operasional memungkinkan elaborasi ayat dalam pasal seperti itu, sehingga memiliki makna teknis yang lebih operasional. Dengan demikian PKPU 20/2018 tidak bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017. Sebab norma yang ada dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g tersebut telah diatur secara operasional dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g danPasal 7 ayat (4) huruf a dan huruf b PKPU 20/2018.
Adapun Pasal 7 ayat (1) huruf h, tidak pula dapat dibaca bertentangan dengan Pasal 240, karena dalam PKPU secara limitatif dan alternatif diatur dan tidak secara general dan kumulatif sebagaimana UU. Pasal 7 ayat (1) huruf h adalah bentukan norma berdasarkan kebijakan open legal policy oleh KPU, karena UU memberikan wewenang KPU membuat PKPU sebagai penjabaran dari UU. (**)
Komentar