Suku Mausu Ane Tolak Direlokasi

KABARTIMURNEWS.COM,AMBON- Suku Mausu Ane di Pedalaman Hutan Pulau Seram, Petuanan Negeri Maneo Rendah, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, menolak direlokasi Pemerintah Daerah.

Relokasi bukan jalan keluar mengatasi kesulitan masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT). Justru, relokasi dianggap pemaksaan dan melanggar prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan, relokasi dapat menimbulkan masalah baru.

Raja Negeri Maneo Rendah, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Nikoleus Boiratan, kepada Kabar Timur mengaku, hanya sebagian kecil warga yang siap direlokasi. Itupun, mereka masih ragu-ragu. “Kemarin dong su siap direlokasi, tapi hanya sebahagian saja. Sebahagian lain dong seng siap,” kata Boiratan dengan dialek Maluku via telepon genggamnya, Jumat (27/7).

Tindakan pemerintah merelokasi suku Mausu Ane, bagi Boiratan, terlalu cepat. Pemerintah diminta untuk tidak tergesa gesa dan seharusnya dimulai dengan terus melakukan pembinaan. “Jang katong capat ini (pindahkan) dorang,” pintanya.

Suku Mausu Ane tersebar di tiga titik kawasan kaki Gunung Murkelle. Diantaranya kawasan Laihaha, bantaran sungai Kobi dan sungai Tilupa. “Jadi kalau katong mau biking dong jadi satu, dong agak berat bagitu,” katanya.

Salah satu alasan suku Mausu Ane enggan direlokasi, tambah Boiratan, adalah perkebunan sebagai tempat bercocok tanam dan alam sebagai sandaran hidup mereka.

Musibah yang dialami suku Mausu Ane bukan baru pertama kali. Di tahun 2015, hutan tempat berlindung suku yang memiliki gaya hidup nomaden ini terbakar. Pemerintah juga memberikan bantuan berupa anakan Pohon Pala dan tanaman lainnya.

“Sekarang tanaman-tanaman bantuan pemerintah sudah ada hasil. Akang sudah buah, lalu katong mau kastinggal akang dong seng mau. Karena dong pung hasil ini. Dong bilang kalau katong pindah lalu katong mau bakabong dimana,” jelasnya.

Boiratan merasa berat dengan rencana relokasi suku Mausu Ane. Sebab, suku ini masih memegang tradisi para leluhur yang hidup pindah-pindah (nomaden).

“Tapi pemerintah ini dong seng mau kasi bantuan lalu dong pung bantuan ini percuma saja. Dong mau tinggal menetap dan seng usah nomaden-nomaden bagitu. Tapi menurut beta seng bisa. Beta mau dong kasih bantuan saja. Beta mau jang bangun perumahan dolo. Katong bangun semacam camp bagitu. Lalu mau kasi bantuan di situ. Katong kasi pembinaan par dong. Lalu dong pung hutan itu di jaga,” harapnya.

Boiratan yang dihubungi sedang dalam perjalanan menuju camp tempat distribusi bantuan, mengaku jumlah keluarga suku Mausu Ane bertambah. Awalnya terdata 45 Kepala Keluarga (KK). Kini sudah bertambah menjadi 48 KK.

Terkait adanya kematian beberapa warga, Boiratan tidak menepisnya. Korban meninggal diketahui sebanyak 4 orang. Namun untuk memastikan tanggal kapan mereka wafat, tidak bisa diketahui. Namun diperkirakan mereka meninggal sejak 3 sampai 4 Bulan terakhir.

“Dong meninggal sudah 3 Bulan lalu, mendekati 4 Bulan. Katong seng tau dong meninggal kapan. Karena dong ini sengtau tanggal dan sengtau hari,” ujarnya.

Menurutnya, tradisi hidup suku Mausu Ane merupakan warisan leluhur. Jika salah satu keluarga meninggal dunia, jenasahnya tidak ditanam. Tapi hanya ditutup menggunakan lilitan bambu atau biasa disebut masyarakat sekitar dengan sebutan “Para-Para”.

Setelah jenasah ditutup dan tersisa tulang belulang, kerangka jenasah itu diangkat dan ditempatkan disebuah pegunungan yang dianggap baik. Tempat peristirahatan terakhir itu kemudian diberi tanda dengan ditanamkan Tumbuhan Gadihu. Namun, proses pemakaman ini tidak berlaku bagi jenasah yang masih berusia anak-anak atau balita.

“Tapi kalau masih anak, dong tanam. Tapi kalau sudah tua dong pake para-para karena itu su jadi wasiat par dong,” tandasnya.

RELOKASI MELANGGAR HAM

Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Provinsi Maluku, Benediktus Sarkol menilai bahwa relokasi yang direncanakan pemerintah daerah terhadap suku Mausu Ane melanggar HAM. Sebab, mereka merupakan masyarakat adat yang masih ada dan hingga kini melestarikan warisan para leluhur.

“Mereka dari moyang atau leluhur sudah ada disitu. Mereka menyatu dengan alam, mereka punya agama suku, mereka hidupnya nomaden,” kata Sarkol kepada Kabar Timur, kemarin.

Dikatakan, rencana relokasi tidak menjamin dan memastikan bahwa suku Mausu Ane bisa cepat melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang baru.

“Bisa di relokasi, tapi apakah pemerintah bisa menjamin dan memastikan bahwa mereka bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Terus akses pendidikan, akses kesehatan, akses fasilitas umum, lalu keyakinan mereka apakah dapat dipastikan?,” tanya Sarkol.

Ia menghawatirkan, jika relokasi terhadap suku yang masih memegang teguh adat dan budaya para leluhur ini malah bisa menimbulkan masalah baru yang tidak diinginkan bersama.

“Kalau di relokasi, mereka tidak langsung masuk gereja, atau masuk masjid atau masuk komunitas lain. Karena mereka ini punya agama Suku. Apakah pemerintah benar benar sudah siap. Jangan sampai menimbulkan persoalan baru,” terangnya.

Menurutnya, jika pemerintah tetap ingin merelokasi suku Mausu Ane, itu secara otomatis sudah mencabut identitas adat dan budaya mereka.

“Jadi kalau misalnya relokasi, itu sama saja negara atau pemerintah secara tidak langsung mencabut identitas adat dan budaya mereka. Ini tidak boleh, karena ini juga tindakan pemaksaan,” tandasnya.

Relokasi juga bertentangan dengan peraturan Presiden nomor 33 tahun 2018 tentang rencana aksi nasional hak asasi manusia tahun 2015-2019, salah satunya mengatur pendampingan tentang rencana aksi pendampingan Komunitas Adat Terpencil.

“Ini dalam rangka memperoleh hak dasar mereka yang merupakan tanggungjawab kementrian sosial dan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten,” tandasnya.

DPRD MALUKU SESALKAN

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku Saadiah Uluputty mengaku kesal dengan sifat acuh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) dalam menangani sejumlah persoalan di daerah bertajuk Pamahanunusa itu.

“Yang jelas saya kesal dengan tindakan yang ditunjukan Pemda Malteng salah satunya masalah kematian tiga warga suku terpencil Mausu Ane yang sempat viral beberapa hari lalu,” kata Uluputty kepada Kabar Timur di Ambon, kemarin.

Mestinya, kata Dia, solusi jangka pendek dan jangka panjang dalam menangani masalah yang dialami sejumlah suku terpencil di wilayah Malteng sudah siapkan sejak awal. Sebab, masalah yang dialami suku adat terpencil di wilayah Malteng bukanlah hal yang baru. Saat kebakaran hutan di Maneo 2015 lalu, Pemda mestinya sudah bisa memprediksikan hal itu. Tujuannya, agar pemerintah mengetahui akar permasalahan dan dampak kedepannya seperti apa.

“Ini kan akumulasi dari masalah yang tertumpuk. Kini sudah terjadi musibah baru Pemda buka mata dan koordinasikan dengan dinas terkait sana-sini. Terlambat,” ujarnya.

Menurutnya, upaya kolaborasi terpadu antara dinas terkait untuk menyelesaikan persoalan di wilayah Malteng khususnya pada masyarakat adat suku terpencil sudah harus dilakukan lebih awal. Bukan saja Dinas Sosial yang hanya berperan penting disitu tetapi juga Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Dinas PUPR dan dinas terkait lainnya yang ada di Malteng.

“Kan ada tim anggaran pemerintah. Nah, baiknya dinas terkait duduk bersama dan bahas penyelesaian dari masalah yang dialami masyarakat suku adat terpencil,” katanya.

Selain itu, politisi asal PKS itu mengungkapkan, Pemda Melteng harus mengupayakan untuk mengalokasikan tenaga medis dan tenaga guru ke wilayah-wilayah suku terpencil.

“Ini harus karena saya anggap memang penting. Soal gaji untuk tenaga medis dan tenaga guru yang ditempatkan di wilayah adat suku terpencil nanti dibijaki dalam kebijakan khusus Pemda Melteng. Mungkin ada penambahan gaji atau apa itu urusannya Pemerintah. Terpenting, masyarakat suku terpencil juga harus dilayani seperti masyarakat lainnya,”tutup politisi asal Dapil Malteng tersebut. (MG3/CR1)

Komentar

Loading...