KABARTIMURNEWS.COM,PAPUA – Pemerintah pusat harus mengawal jatah saham Pemprov Papua atau participating interest 10 persen di PT Freeport Indonesia. Jangan sampai jatuh ke swasta bahkan asing.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, pusat wajib mengawal participating interest (PI) 10 persen terkait divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Jangan sampai saham tersebut digondol Freeport kembali. Atau swasta seperti halnya terjadi di PT Newmont Nusa Tenggara.”Kepemilikan saham itu artinya harus setor modal. Selama ini, Pemda justru kesulitan kalau harus setor modal, jadinya mereka minta swasta membantu permodalan dan dapat saham partisipasi,” kata Fabby di Jakarta, kemarin.
Fabby bilang, pusat harus memastikan PI 10 persen benar-benar dalam genggaman Pemprov Papua, tidak dijual ke swasta. “Pemerintah pusat perlu membuat perjanjian dengan Pemda Papua untuk tidak menjual saham, sambil mengurus penyertaan modal, diantisipasi sejak awal,” kata Fabby.
Fabby menjelaskan, skema lain yang bisa ditempuh, pemerintah pusat melalui PT Inalum membayarkan terlebih dahulu. Selanjutnya, Pemprov papua mencicil ke Inalum. “Bisa saja, pemerintah pusat menalangi dulu dan nanti dibayar secara bertahap oleh Pemda dari hasil produksi Freeport,” tutupnya.
LUBANG BESAR
Sementara itu, isi Head of Agreement (HoA) terkait divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI), lebih menguntungkan Freeport Mc Moran ketimbang Indonesia. Alasannya, meski pemerintah Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) menggenggam 51 persen saham PTFI, kenadil operasional industri tambang emas terbesar di dunia ini masih di tangan McMorran.
“Kemudian kontraknya (Freeport) akan diperpanjang hingga 2021. Kita sudah mengkonfirmasi soal harga, atau posisi operator. Jelas untung mereka (Freeport),” kata Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, Jakarta.
Logiknya, menurut Marwan, ketika Indonesia menggenggam saham mayoritas (51 persen), kendali penuh juga berada di tangan Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia tidak boleh lemah. “Namanya deal mustinya setara. Mereka mau apa, mereka dapat oke. Kita mau apa mustinya dapat, ini kan engga berat sebelah saja,” ujar Marwan.