KABARTIMURNEWS.COM,AMBON – Berbicara masalah pembinaan bahasa, sejarah menunjukkan bahwa peranan pemangku kebijakan (pemimpin, pejabat, politisi, tokoh masyarakat dan lainnya) memiliki pengaruh yang sangat besar.
Pembinaan bahasa Perancis misalnya berhasil dengan baik karena tindak bina bahasanya yang dirintis oleh Kardinal de Richellieu, Perdana Menteri Perancis abad ke-16. Orang Perancis memiliki rasa setia bahasa, rasa hormat bahasa, dan rasa bangga bahasa yang sangat tinggi.
Bagi mereka, tidak ada bahasa lain yang sebaik bahasa Perancis. Menurut mereka, bukan mereka yang harus mempelajari bahasa bangsa lain, melainkan bangsa lainlah yang harus mempelajari bahasa Perancis. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional tidak laku di Perancis.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Persoalannya sekarang adalah adakah pemangku kebijakan kita yang mengintegrasikan diri kepada pembinaan bahasa Indonesia ini? Kita akan dikatakan kurang objektif kalau menjawab “tidak”, namun tidak jujur pula kalau kita menjawab “ada”.
Sebelum menjawab persoalan ada atau tidaknya pemangku kebijakan yang demikian, idealnya kita melihat kenyataan tentang tuturan bahasa Indonesia pemangku kebijakan di negeri ini. Ditinjau dari tuturan, kebanyakan tuturan bahasa Indonesia para pemangku kebijakan belum dapat dikatakan sebagai tuturan bahasa yang baik.
Bukan saja materi tuturannya yang kurang baik, malahan sikap mental terhadap bahasa Indonesia pun tidak sebagaimana mestinya. Ada semacam perlakuan yang bernada “semau gue” terhadap bahasa nasionalnya. Yang lebih mencengangkan lagi, sebagian dari mereka merasa bangga jika mereka tidak bisa mengungkapkan dirinya dalam bahasa Indonesia, misalnya “maaf saudara-saudara, persoalan berikut ini saya ungkapkan dalam bahasa asing, karena saya tidak tahu dalam bahasa Indonesia”.
Kalimat seperti inilah yang dipakainya menyelimuti kebanggaannya terhadap bahasa asing dan peremehannya terhadap bahasa Indonesia. Kalaupun mereka mencoba bertutur dalam bahasa Indonesia, tuturannya tidak lebih dari semacam “bahasa Indonesia gado-gado”.
Di sana sini selalu dimasukkan kata-kata dan kalimat-kalimat bahasa asing ke dalam bahasa Indonesianya. Yang demikian itu dapat disebut sebagai manifestasi dari sikap mental yang negatif terhadap bahasa yang digembar-gemborkan sebagai bahasa nasional yang harus dibinanya.